Bismillahirrahmanirrahim
APA
YANG KELAK MEREKA TEMUI DI SANA?
Kebakaran
hutan seluas ratusan hektar terkadang hanya tersulut oleh bara api dari puntung
rokok. Sebaliknya, menghijaunya berhektar-hektar kawasan gersang dapat disemai
dari sebutir benih. Begitulah, karunia maupun bencana, acapkali dipicu oleh
sebab-sebab kecil. Sesuatu yang pada mulanya diremehkan, ternyata mendorong
perubahan besar yang mempengaruhi kehidupan segenap makhluk di sekitarnya.
Dalam
sejarah hidup para tokoh besar, kita mendapati episode-episode kecil semacam
ini. Kejadiannya sangat sepele. Sedemikian sepelenya, sampai-sampai buku-buku
biografi hanya menceritakannya sepintas lalu. Tapi, jangan tanya bagaimana
efeknya, sebab ia telah mengubah sejarah dan mempengaruhi perjalanannya hingga
berabad-abad kemudian.
Misalnya,
Ibnu Hajar menceritakan dalam muqaddimah Fathul Bariy bahwa Imam
al-Bukhari berkata, “Kami berada di sisi Ishaq bin Rahawaih, lalu beliau
berkata: ‘Andai engkau mengumpulkan satu kitab ringkas untuk (memuat) Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih.’ Maka,
perkataan beliau mengena di hati saya, dan saya pun mulai menyusun kitab Al-Jami’
Ash-Shahih.” (Hadyu as-Sariy hal. 7).
Di
zaman itu, hadits-hadits Nabi memang masih bercampur dengan riwayat-riwayat
dari Sahabat, Tabi’in, dll. Selain itu, belum disendirikan antara yang shahih
dan dha’if, sehingga tidak setiap orang bisa memilahnya dengan mudah.
Diperlukan keahlian tersendiri agar mampu membedakan mana hadits yang shahih,
hasan, dha’if, matruk, maudhu’, dsb.
Demikianlah.
Kisah yang melatarbelakangi kemunculan kitab Shahih al-Bukhari sangat sederhana.
Tapi siapa sangka energi yang diletupkannya demikian luar biasa, sebab kitab itu
disusun secara bertahap dan terus-menerus diperbaiki selama 16 tahun (Siyaru
A’lamin Nubala’, XII/405). Efeknya pun sangat mengesankan, sebab kita masih
merujuk dan mengambil manfaat darinya, padahal penyusunnya telah wafat tahun 256
H (870 M) atau 1.145 tahun
silam. Bahkan, karyanya dianggap sebagai kitab yang paling shahih sesudah
Al-Qur’an, bersama karya Imam Muslim (Muqaddimah Ibnu ash-Shalah
hal. 18).
Ada
kisah lain, tentang al-Hafizh adz-Dzahabi (Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Ahmad bin ‘Utsman, w. 748 H). Tatkala menceritakan salah satu guru di masa
kecilnya, yaitu al-Hafizh al-Birzali (‘Alamuddin Abu Muhammad al-Qasim bin
Muhammad), adz-Dzahabi berkata: “Beliaulah orang yang menggemarkan saya untuk menekuni
hadits. Beliau pernah melihat tulisan tangan saya, lalu berkata: ‘Tulisan
tanganmu mirip dengan tulisan para Ahli Hadits.’ Maka, hal itu sangat berkesan
kepada saya. Saya mendengar (periwayatan) hadits dari beliau, dan menguasai
beberapa bidang ilmu di bawah bimbingannya.” (Tsalatsu Tarajum Nafisah
hal. 40, dan ad-Durar al-Kaminah IV/278-279).
Isyarat
sederhana itu menjadi awal karir ilmiah al-Hafizh adz-Dzahabi yang sangat
cemerlang. Sejarah kemudian mengenalnya sebagai salah satu tokoh terpenting
dalam Ilmu Hadits. Jasanya dirasakan seluruh ulama’ di belakang beliau, sebagaimana
dinyatakan Imam as-Suyuthi, “Sesungguhnya para Ahli Hadits sekarang berhutang
budi dalam masalah (biografi) para perawi hadits dan bidang-bidang Ilmu Hadits
lainnya kepada empat orang, yaitu: al-Mizzi, adz-Dzahabi, al-‘Iraqi, dan Ibnu
Hajar.” (Dzail Tadzkiratil Huffazh hal. 348).
Tampaknya,
dua kisah di atas tidak sendirian. Sampai era modern ini, banyak tokoh
termasyhur yang menceritakan momen-momen kecil dalam hidupnya yang memicu aneka
prestasi gemilang yang mereka torehkan di masa-masa selanjutnya. Dan, banyak di
antaranya yang dipengaruhi oleh satu dua pribadi hebat yang pernah mereka
jumpai, entah seorang ayah, ibu, guru, teman, atau sosok-sosok lain yang
dijumpai di sembarang tempat tanpa disengaja.
Dengan
kata lain, seringkali “mesiu” (yakni, potensi) manusia terpendam tanpa disadari
bahkan oleh pemiliknya sendiri. Namun, ketika seberkas api dipantik pada bagian
yang tepat, tiba-tiba terjadi ledakan hebat. Sosok yang semula sangat bersahaja
pun bangkit mempersembahkan prestasi-prestasi mencengangkan, meski bisa juga
sebaliknya (yakni: tersesat sejauh-jauhnya).
Oleh
karenanya, para pelajar di masa silam dianjurkan mengembara meninggalkan
keluarga dan tanah kelahirannya. Mereka menyinggahi berbagai negeri dan
menjumpai para ulama’ yang hidup di zamannya, demi mengejar berkah-berkah seperti
yang didapatkan Imam al-Bukhari dan al-Hafizh adz-Dzahabi. Misalnya, Habib bin asy-Syahid (w. 145 H) berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dampingilah para fuqaha’ dan ulama’. Pelajari ilmu
dari mereka dan contohlah adab mereka, sebab hal itu lebih aku sukai dibanding
banyaknya hadits (yang engkau dengarkan).” (dari: Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim,
pada muqaddimah).
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
pernah bertanya kepada ayahnya: “Dari siapa
seseorang mencari ilmu? Menurut Anda, apa ia cukup menetap pada satu orang
berilmu lalu mencatat darinya, atau menurut Anda ia harus melakukan perjalanan
jauh ke tempat-tempat di mana ilmu berada lalu mendengarkannya dari mereka
(yakni: para ulama’)?” Imam Ahmad menjawab, “Sebaiknya ia pergi dan mencatat
dari para ulama’ Kufah dan Basrah, penduduk Madinah dan Makkah. Ia melihat
orang banyak dan mendengar dari mereka.” (Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits, no. 11).
Maka,
di bulan-bulan seperti sekarang, ketika para pelajar (dan juga walinya) mulai
merancang hendak melanjutkan pendidikan kemana, ada baiknya memperhatikan aspek
ini. Jangan hanya tergiur oleh imej fakultas keren atau sekolah favorit. Perhatikan
pula lingkungan dan suasana pendidikan yang ditawarkan. Sebab, kita tidak tahu
pemicu seperti apa yang kelak ditemui anak-anak kita di sana. Iya kalau bagus
seperti yang ditemui Imam al-Bukhari dan al-Hafizh adz-Dzahabi; bagaimana kalau
sebaliknya? Na’udzu billah. Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar. Jum’at,
24 Rab. Akhir 1436 H.