Bismillahirrahmanirrahim
KECURANGAN
DALAM MU’AMALAH
Surah
ke-83 dalam Al-Quran, yaitu al-Muthaffifin, adalah surah yang unik karena turun
dalam masa transisi Periode Makkah ke Periode Madinah dalam Sirah Nabawiyah.
Menurut Jabir bin Zaid dan Ibnu as-Saib, surah al-Muthaffifin turun di
tengah-tengah perjalanan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Sebagiannya
turun di daerah yang dekat Makkah, sedang sisanya di daerah yang lebih dekat ke
Madinah (Tafsir Zaadul Masir, IV/413). Apa hikmah di balik posisi penurunan
yang unik ini?
Bila
kita perhatikan profesi warga Madinah (kaum Anshar) di masa itu, sebagian besar
adalah petani atau pekebun. Sampai saat ini pun kebun-kebun kurma masih eksis
di Madinah, yang bisa jadi merupakan kawasan perkebunan tua sejak era
jahiliyah. Di sisi lain, profesi penduduk Makkah (kaum Muhajirin dan kabilah
Quraisy pada umumnya) adalah berdagang. Rasulullah sendiri termasuk kalangan
pedagang sejak masa mudanya.
Kecurangan
sejatinya merupakan potensi laten dalam kegiatan ekonomi di mana pun di seluruh
dunia, salah satunya dalam hal takaran dan timbangan. Posisi penurunan surah
al-Muthaffifin yang unik ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa Allah hendak
menegur semua pihak yang terlibat dalam proses ekonomi; baik produsen,
distributor, maupun konsumen. Dengan lugas Al-Qur’an menyerukan: “Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (ayat 1-3)
Kenyataannya,
ketika berposisi sebagai pembeli seseorang biasa meminta agar timbangan untuknya
dipenuhi bahkan diberi bonus. Akan tetapi, pada saat berperan sebagai penjual diam-diam
ia justru mengurangi timbangan demi mendongkrak keuntungannya. Di zaman
sekarang, pemasangan label “Pasti Pas” di berbagai pompa bensin (SPBU) adalah
contoh yang pada dasarnya juga dilatarbelakangi kasus-kasus serupa.
Al-Qur’an
mencerca perilaku sewenang-wenang dan egois tersebut. Mestinya, seseorang
memperlakukan orang lain sebagaimana ia berharap untuk diperlakukan oleh orang
lain. Bila ia senang timbangan untuknya dipenuhkan bahkan ditambahi bonus,
seharusnya ia pun senang menimbang dengan penuh dan bahkan memberi bonus.
Alhasil, praktik-praktik penipuan dalam transaksi ekonomi pada hakikatnya
mengindikasikan jauhnya jiwa dari keadilan dan empati, serta dominannya kebebalan
pikiran dan kerasnya hati. Sebab, pelakunya tidak mau tahu perasaan orang lain dan
sengaja menimpakan kerugian kepada mereka.
Kecurangan
dalam mu’amalah (transaksi ekonomi) bukan suatu kejahatan sepele.
Al-Qur’an bahkan secara khusus mengisahkan perilaku buruk ini di kalangan umat
terdahulu, tepatnya umat Nabi Syu’aib, sebagai pelajaran bagi kita. Al-Qur’an
juga mengabarkan azab yang Allah timpakan sebagai balasan atas kecurangan
mereka. Umat Nabi Syu’aib dikenal juga sebagai penduduk Madyan atau penduduk al-Aykah,
yang digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai para pelaku ekonomi yang nakal dan
gemar menipu.
Dalam
surah al-A’raf: 85, keculasan mereka disajikan dengan gamblang: “Dan (Kami
telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi
manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.”
Dalam
surah Hud: 84-85 dan asy-Syu’ara’: 176-184 kejahatan ekonomi yang mereka
perbuat dikemukakan kembali. Intinya mereka gemar berlaku curang dalam
menimbang, menakar, dan merugikan siapa saja yang berbisnis dengan mereka. Nabi
Syu’aib pun berulang kali mengingatkan mereka agar menyudahi praktik-praktik
kotor tersebut, namun mereka tetap membandel.
Teguran-teguran
keras Al-Qur’an ini semakin diperjelas oleh hadits-hadits yang menyatakan bahwa
ketidakberesan mu’amalah antar sesama manusia bisa berakibat gawat di
akhirat. Misalnya, dalam persoalan hutang (kredit); sesuatu yang sudah sangat
lazim dalam perekonomian modern. Sungguh, jangan menyepelekan masalah kredit ini,
sebab gugur syahid pun tidak bisa membuat hutang-hutang otomatis lunas. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terbunuh di jalan Allah itu
menghapuskan segala sesuatu, kecuali hutang.” (Riwayat Muslim, dari
Abdullah bin Amr bin Ash). Riwayat semakna juga diceritakan Anas bin Malik, Abu
Qatadah al-Anshari, dan Abu Hurairah.
Sebetulnya,
ekonomi merupakan salah satu kajian yang paling terperinci dalam Fiqh Islam. Aspek-aspek
hukum yang dikaji para ulama’ pada dasarnya ditujukan untuk memastikan tidak
adanya tindakan saling merugikan, mendorong perekonomian yang sehat, dan lebih
dari itu adalah berupaya meraih keberkahan dan ridha Allah dari setiap aspek
kehidupan.
Oleh
karenanya, wajar bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pedagang
yang jujur dan bisa dipercaya itu bersama para Nabi, shiddiqin, dan orang-orang
yang mati syahid.” (Riwayat at-Tirmidzi, dari Abu Sa’id. Hadits hasan).
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Pedagang yang bisa dipercaya, jujur,
dan muslim itu bersama orang-orang yang mati syahid pada Hari Kiamat kelak.”
(Riwayat Ibnu Majah, dari Ibnu ‘Umar. Hadits dha’if).
Sebagian
orang meragukan hadits ini. Menurut mereka, pahala berdagang dengan jujur dan
terpercaya mestinya tidak sehebat itu. Namun, siapa pun yang hari ini terjun berniaga
pasti mengerti bahwa menjadi sosok Shaduq (sangat jujur) dan Amin (bisa
dipercaya) di dunia bisnis benar-benar tidak sederhana; sehingga cukup layak bila
dibalas seperti itu. Wallahu a’lam.
[*]
Alimin Mukhtar. Senin, 02 Rajab 1435 H.