Bahkan, Hajar Aswad pun Dimakelari!



Bismillahirrahmanirrahim

BAHKAN, HAJAR ASWAD PUN DIMAKELARI!

Ini kisah nyata dari seorang Ustadz yang menunaikan umrah, beberapa waktu lalu. Di tengah khusyu’ berdzikir dan berdoa di Masjidil Haram, tiba-tiba pundaknya dicolek-colek seseorang dari belakang. Beliau menoleh, dan langsung terkejut. Seorang wanita! Tanpa rikuh, wanita itu langsung bertanya, “Bapak sudah mencium Hajar Aswad?” Dengan rikuh dan enggan, beliau menjawab, “Belum.” “Kalau mau, saya bantu, Pak! Murah, cuma 50 Riyal!” Subhanallah!

Begitulah, bila hati telah tenggelam dalam hubbud-dunya. Ibadah pun tidak luput menjadi ladang untuk memperebutkan dunia. Ia tidak lagi dipandang sebagai jalan pengabdian kepada Allah, namun salah satu cara untuk menjayakan nafsu dan mereguk kepuasan syahwat. Tanpa sungkan dan rikuh, bahkan tidak juga memperdulikan adab maupun kepantasan, yang penting uang didapatkan!
Siapa pun yang pernah berhaji atau menunaikan umrah, pasti mengerti fenomena ini. Kadangkala kecenderungan seperti itu tidak hanya menjangkiti muqimin asal Indonesia di Tanah Suci, namun segenap unsur yang terlibat dalam ibadah haji dan umrah pun menunjukkan gejala serupa. Ada diantara jamaah haji/umrah, pembimbing manasik, petugas resmi, maupun agen perjalanan yang gagal mencerna pesan-pesan di balik rangkaian ibadah tsb. Mereka mungkin telah berulangkali mengunjungi Rumah Allah, akan tetapi hatinya tetap saja terpaku erat-erat pada peluang-peluang duniawi, lepas dari misi-misi ruhiyah yang sebenarnya.
Misalnya, betapa banyak orang berlomba-lomba mencium Hajar Aswad, shalat di Hijir Ismail, berdoa di Raudhah, dan menuntaskan Shalat Arba’in. Kadangkala segenap cara ditempuh dan segala jalan pun dihalalkan. Akan tetapi, begitu kembali ke Tanah Air, hatinya seolah membeku dan telinganya menjadi tuli. Seruan adzan menggema bersahut-sahutan, namun tubuhnya tidak beranjak untuk memenuhi panggilannya. Kemana semangat Shalat Arba’in itu? Dimana lagi doa-doa dan munajat itu? 
Al-Qur’an pernah mencela perilaku kaum Quraisy ketika mereka melakukan ritual di sekeliling Ka’bah. Allah berfirman, “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.” (QS al-Anfal: 35).
Di masa itu, bangsa Arab masih berthawaf, namun mereka telah kehilangan ruhnya. Mereka masih melakukan Sa’i di antara Shafa dan Marwa, akan tetapi hanya sekedar berjalan-jalan diantara dua bukit untuk kemudian mengusap berhala Isaf dan Nailah di kedua ujungnya. Mereka masih berkumpul dalam momen tahunan Haji, namun bukan lagi demi mengagungkan nama Allah. Mereka membanjiri Tanah Suci untuk menghadiri Festival Kebudayaan di Pasar Ukazh. Di sana para penyair mendendangkan karya-karyanya, dan seluruh masyarakat Arab pun tenggelam dalam pesta serta jual-beli komoditas andalan masing-masing!
Kadang, kita menyaksiakan fenomena yang nyaris serupa di zaman ini. Ribuan orang bolak-balik mengunjungi Baitullah, namun mereka lebih sibuk untuk meng-update status Facebook-nya daripada merenungi kebesaran Allah dan beristighfar atas dosa-dosanya. Foto-foto selfie di Masjid Nabawi membanjiri media sosial (medsos), seakan-akan sedang pelesir ke Bali. Bukankah ini nyaris identik dengan “siulan dan tepukan tangan” yang dicela Allah dalam Kitab-Nya?
Apalagi, dengan semakin menjulangnya gedung-gedung pencakar langit di sekitar Masjidil Haram belakangan ini, dimana semakin sedikit “pemandangan langit bebas” yang tersisa di sana. Bila kita tidak jauh-jauh hari menata hati, meneguhkan niat, dan meluruskan tujuan hanya demi Allah, niscaya sulit untuk bisa merasakan keagungan-Nya. Makanan di hotel yang begitu mewah dan kamar penginapan yang sangat nyaman, mungkin bisa mengalahkan sejuknya bermunajat kepada Allah dan nikmatnya bersujud di kaki Ka’bah. Air Zamzam bisa kehilangan kelezatannya ketika bayangan mujahadah Ibunda Hajar telah lenyap dari hati, hanya tersisa bagaikan dongeng yang tak perlu dipusingkan makna-makna agungnya.
Oleh karenanya, Al-Qur’an sejak awal telah mewanti-wanti kaum muslimin agar berhati-hati ketika berhaji. Allah berfirman, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS al-Baqarah: 197).
Menurut para ulama’, yang dimaksud “rafats” adalah melakukan hubungan suami-istri atau hal-hal yang mengarah kesana, seperti merayu, menggoda, mencium, dsb. Ada pula yang menafsirkan “rafats” sebagai omongan tidak berguna dan main-main. Adapun “perbuatan fasik” adalah saling mengejek, mencela orang lain, menggelari orang lain dengan gelar buruk, atau segala jenis maksiat secara umum. Demikian pernyataan al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam Tafsir Zadul Masir.
Tampaknya, sejak dulu sudah ada kecenderungan seperti itu dalam ibadah haji. Ketika jutaan manusia dari beragam suku/bangsa berkumpul menjadi satu, jelas sangat beragam pula kemungkinan yang terjadi di sana; seberagam karakter, latar belakang, niat, serta tingkatan ilmu dan iman masing-masing. Ada orang-orang yang kemudian saling tertarik secara seksual, terpesona oleh kekayaan orang lain, jengkel mendapati kesewenang-wenangan sesama, saling memperdebatkan khilafiyah fiqh dalam tatacara ibadah, melakukan perbuatan kriminal, terjerumus dalam kemusyrikan, dst. Daftar ini masih bisa diperpanjang lagi.
Maka, bila ada rencana mengunjungi Baitullah, ada baiknya Anda menata hati sejak sekarang; agar tidak terjebak dalam fenomena-fenomena negatif yang dicela Allah; berhasil meraih Haji Mabrur dan umrah yang diterima. Wallahu a’lam.

[*] Alimin Mukhtar. Ahad, 08 Shafar 1436 H.

Teriring doa dan harapan, untuk saudara-saudara kita yang akan menunaikan haji tahun ini, semoga Allah menjadikan haji yang mabrur. Semoga pula kita yang belum berhaji segera dimampukan oleh Allah untuk berhaji. Amin.