Bismillahirrahmanirrahim
BERKAH USIA
Berbagai laporan media internasional menunjukkan
satu gejala yang mengenaskan, bahwa angka bunuh diri cenderung meningkat di
beberapa negara yang secara ekonomi makmur. Di saat bersamaan, media-media nasional juga merekam
fenomena bunuh diri di sejumlah kawasan di Indonesia. Penyebabnya sangat
beragam, mulai dari tekanan jiwa, skandal, sakit kronis, terlilit hutang, atau
kisruh asmara. Kehidupan seolah merupakan aib yang tidak mungkin dihapus kecuali dengan
mengakhirinya. Astaghfirullah!
Sesungguhnya, Islam
diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’: 107). Salah satu
bentuk rahmat itu adalah disyariatkannya berbagai pedoman hidup yang bertujuan
untuk melindungi keselamatan jiwa manusia. Misalnya, diharamkannya membunuh
dengan tanpa alasan yang dibenarkan (QS al-An’am: 51 dan al-Isra’: 33), penetapan
hukum Qishash dan Diyat [tebusan atas darah] dalam kasus pembunuhan (QS
al-Baqarah: 178-179), dan tidak bolehnya bunuh diri (QS an-Nisa’: 29-30).
Hukum-hukum ini menunjukkan
kepedulian Islam yang sangat tinggi terhadap salah satu hak paling asasi bagi
manusia, yakni hak untuk hidup. Jangankan mengakhiri kehidupan orang lain tanpa
hak, mengakhiri hidup diri sendiri pun dilarang keras. Allah berfirman, “Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya,
maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (QS an-Nisa’: 29-30).
Islam
memandang kehidupan sebagai karunia Allah yang harus dijunjung tinggi. Tidak
ada satu pun selain Allah yang bisa menciptakannya. Kehidupan adalah karya
Allah yang tak tertandingi. Maka, untuk mensyukurinya, Islam mendorong manusia
memelihara sekaligus memanfaatkan kehidupan di jalan-jalan kebaikan dan
maslahat, bukan untuk pengrusakan dan kebinasaan. Ada banyak ayat Al-Qur’an
yang secara tegas melarang perbuatan yang merusak, atau mencela perbuatan
tersebut berikut para pelakunya.
Alhasil,
panjangnya usia berarti luasnya karunia dan rahmat Allah kepada seseorang.
Bukankah manusia sering meminta pemberian yang melimpah? Lalu, mengapa menolak
anugerah kehidupan dan justru berniat hendak melenyapkannya? Bisikan syetan
macam apa ini? Ingatlah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan
menandaskan bahwa diantara ciri manusia terbaik adalah yang berusia panjang dan
diisi dengan amal-amal shalih. ‘Abdullah bin Busr (seorang Sahabat) bercerita, bahwa
ada seorang Arab dusun bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang terbaik itu?”
Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (Riwayat at-Tirmidzi. Hadits
hasan-gharib. Sanad-nya shahih).
Sangat
wajar pula jika beliau menyatakan bahwa menghormati orang sepuh adalah bagian
dari mengagungkan Allah. Beliau bersabda, “Sesungguhnya diantara bentuk
penghormatan kepada Allah adalah memuliakan orang yang telah beruban lagi
muslim, pengemban Al-Qur’an yang tidak ekstrem dan tidak pula mengabaikannya,
serta memuliakan penguasa yang adil.” (Riwayat Abu Dawud, dari Abu Musa
al-Asy’ari. Hadits hasan).
Sudah
pasti bahwa seseorang yang diberi karunia umur panjang dan dihabiskan dalam
ketaatan kepada Allah, sangat pantas untuk diberi tempat istimewa. Ini pula
yang membedakan budaya masyarakat muslim dengan selainnya; dimana orang-orang
tua justru mendapat tempat terhormat di tengah-tengah anak dan cucu, sementara
dalam masyarakat lain orang-orang tua malah dianggap sebagai beban dan harus
disingkirkan ke panti-panti jompo. Astaghfirullah!
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pun melarang kita mengharapkan kematian.
Ada teramat banyak berkah di balik usia yang dipanjangkan, salah satunya adalah
masih terbukanya pintu taubat. Beliau bersabda, “Janganlah kalian mengangan-angankan kematian, karena sesungguhnya
ketakutan dalam menghadapi permulaan kematian (yakni: sakaratul
maut) itu sangatlah dahsyat. Sungguh merupakan suatu
kebahagiaan jika Allah memanjangkan usia seorang hamba dan menganugerahinya
taubat.” (Riwayat
al-Baihaqi, Ahmad, al-Hakim dan beliau menilainya shahih; dari Jabir).
Di
saat bersamaan, pertambahan usia sekaligus bermakna bertambahnya bekal amal
shalih. Maka, ketika umur panjang diiringi istighfar terus-menerus dan
perbuatan baik yang kontinyu, kita sangat layak mengharapkan rahmat Allah.
Rasulullah bersabda, “Jangan sampai salah seorang
dari kalian mengangan-angankan kematian. Jika dia orang yang baik, maka semoga
semakin bertambah kebaikannya. Jika dia orang yang buruk, maka semoga saja ia
menyesal dan bertaubat.” (Riwayat Ahmad, al-Bukhari, dan ad-Darimi; dari Abu Hurairah).
Dalam
riwayat lain, Rasulullah bersabda, “Jangan sampai salah
seorang dari kalian mengangan-angankan kematian, dan jangan pula berdoa
(memohon) kematian sebelum ia datang kepadanya. Sungguh jika salah seorang dari
kalian mati, maka terputuslah darinya amal perbuatannya. Sungguh umur seorang
mukmin itu tidak menambahkan kepadanya selain kebaikan.” (Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah).
Bahkan,
seandainya suatu musibah yang sangat berat menimpa kita, sehingga seolah-olah kematian
lebih baik dibanding kehidupan, kita tetap dipandu untuk memilih jalan tengah.
Rasulullah bersabda, “Ingatlah, jangan sampai
salah seorang dari kalian mengangan-angankan kematian dikarenakan suatu bencana
yang menimpanya. Namun, jika dia memang harus mengharapkan kematian, hendaklah
ia berdoa, “Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu lebih baik bagiku,
dan matikanlah aku selama kematian itu lebih baik bagiku.” (Riwayat an-Nasa’i, dari
Anas. Hadits shahih).
Di
sini, kita diajari untuk menyerahkan pilihan kepada Allah, mana yang
menurut-Nya terbaik bagi kita. Kita tidak diperkenankan putus asa lalu memilih
sendiri jalan yang kita mau, termasuk dengan cara bunuh diri. Allah Maha Tahu,
sedangkan kita tidak. Jadi, mari mensyukuri usia kita dan merasakan
keberkahannya. Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar.
Sabtu, 07 Shafar 1436 H.