Membaca = Qira'ah, Tartil, dan Tilawah


 

Bismillahirrahmanirrahim

 


Tiga Sarana Pokok dalam Berinteraksi dengan Al-Qur'an

Berinteraksi dengan al-Qur’an tak bisa lepas dari tiga sarana pokok: qira’ah, tilawah, dan tartil. Masing-masing merupakan thariqah yang berbeda, namun bersinggungan satu sama lain pada titik-titik tertentu, sehingga tidak bisa dilepaskan atau dipergunakan secara mandiri tanpa melibatkan lainnya.

Tiga kosakata Al-Qur'an diatas biasanya diterjemahkan dengan "membaca" dalam bahasa Indonesia. Untuk membuktikannya, Anda bisa melihat bagaimana terjemahan 3 kata ini dalam surah al-‘Alaq (iqra’ bismi rabbika), al-Jumu’ah (yatlu ‘alaihim ayatina), dan al-Muzzammil (wa rattilil Qur’ana tartiila). Ketiga surah ini sudah sangat dikenal dalam kajian SNW (Sistematika Nuzulnya Wahyu).

Secara umum, menerjemahkan ketiganya sebagai "membaca" adalah benar, namun tidak lengkap. Dalam penggunaan bahasa Arab maupun al-Qur'an sendiri, ketiganya terkadang bisa saling menggantikan. Namun, dengan meneliti kamus-kamus dan kitab-kitab tafsir, tampak jelas kosakata bahasa Indonesia tidak mampu menangkap secara sempurna makna aslinya. Kita mesti memberi penjelasan lebih jika ingin memahami maksudnya secara utuh.

Makna Qira’ah
Asalnya, kata ini berarti menyatukan (jama’a) huruf atau kalimat dengan yang semisalnya dalam suatu tartil, yakni melafalkan huruf-hurufnya secara terpadu (dalam suatu kalimat). Derivasi (bentuk turunan) kata dasar ini bisa memiliki makna-makna: berusaha memahami (tafahhama), terus mempelajari (daarasa), berupaya mengerti secara mendalam (tafaqqaha), dan beribadah dengan tekun (tanassaka). Dalam hal ini, hafalan adalah salah satu dari bentuk yang menjadi maknanya. Karena, menghafal (hafizha) juga berarti mengumpulkan (jama'a) dan menyatukan (dhamma). Makna lain yang juga muncul adalah haid dan suci darinya, pemisah bait sya'ir (qawafi), dsb.[1] Al-fiqh sendiri makna asalnya adalah pemahaman yang lebih cermat dan mendalam, tidak sekedar tahu.[2]
Tentu saja, jika aspek-aspek makna kata ini dirangkai maka akan terlihat jelas bahwa tujuan penyatuan berbagai huruf dan kalimat adalah untuk mencipta serta mengungkap makna, yang darinya akan terlahir pemahaman, pengertian dan pelajaran. Hafalan (tahfizh) merupakan satu tahap pengumpulan ide dan kaidah, untuk kemudian secara intelektual diproses lewat dirasah, tafaqquh dan tafahhum. Oleh karena itu, dalam penggunaan kontemporer, kata ini diderivasi menjadi istiqra' yang berarti eksplorasi, investigasi, analisa, penelitian dan pengujian.[3]
Sebuah hadits menyebut kata aqra’uhum li kitabillah, sebagai syarat pertama imam shalat.[4] Para ulama' memaknai kata ini dengan aktsaruhum hifzhan (yang memiliki hafalan terbanyak), afqahuhum li kitabillah (yang paling faqih terhadap kitab Allah), aktsaru qira'atan (paling banyak membaca), atau atqanu wa ahfazhu lil-Qur'an (lebih menguasai dan hafal al-Qur'an).[5] Sebuah hadits lain yang bersumber dari 'Amr bin Salamah menggunakan kalimat aktsaruhum qur'aanan (yang terbanyak hafalan/bacaan Qur'annya), dalam membahas masalah yang sama, sebagaimana disitir Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz 2 hal. 186.
Maka, seperti sudah kita singgung, kata qira'ah lebih menekankan aspek intelektual dari membaca. Dalam bahasa Inggris, terjemahan yang tepat adalah "to read" (membaca, yakni memahami content atau isi bacaan). Pilihan terjemah ini pula yang dipergunakan dalam The Noble Qur'an: English Translation of the meaning and commentary, untuk pembuka surah al-'Alaq.
Oleh karenanya, Dr. Quraish Shihab menulis dalam Tafsir al-Qur'an al-Karim hal. 77-78, terkait ayat pertama wahyu pertama, bahwa:
…arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra' yang diterjemahkan dengan bacalah!, tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai obyek baca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus, Anda dapat menemukan beraneka ragam arti kata tersebut. Antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya, yang kesemuanya bermuara pada arti "menghimpun". Selain itu, kata qira'ah, berikut bentuk-bentuk yang seakar dengannya, dalam al-Qur'an dipakai mengungkapkan aktifitas membaca yang umum, mencakup teks apa saja yang bisa dijangkau.

Dengan kata lain, kata ini mencirikan sebuah aktifitas intelektual yang terus menerus, mendalam, intensif. Meskipun tetap bermakna membaca atau melafalkan huruf-huruf sehingga tercipta suatu makna, namun titik tekannya bukan pada pembacaan bersuara. Fokus qira'ah adalah meraih makna atau pengertian dari apa yang dibaca tersebut. Jika dikaitkan dengan al-Qur'an, yang mana nama kitab suci ini sendiri juga berasal dari kata qira'ah, maka membaca disini harus disertai tadabbur, tafakkur, dan tadzakkur. Tidak disebut qira'ah jika hanya menekankan pelafalan lisan dan mengeraskan suara. Qira'ah adalah aktifitas yang sistematis, terstruktur, disengaja, sadar dan memiliki tujuan jelas. Dalam hal ini, adalah demi memperoleh hidayah Allah.

Makna Tartil
Arti dasar tartil adalah sesuatu terpadu (ittisaq) dan tersistem (intizham) secara konsisten (istiqamah), yakni melepaskan kata-kata dari mulut dengan mudah dan konsisten. Titik tekannya ada pada pengucapan secara lisan, atau pembacaan verbal dan bersuara. Dalam Bahasa Inggris, padanan tepatnya adalah "to recite" (mengucapkan, melafalkan dengan lisan). Tepatnya, slow recitation, membaca secara perlahan-lahan dengan bersuara.[6]
The Noble Qur'an menerjemahkan frase "wa rattilil Qur'aana tartiila" dalam surah al-Muzzammil dengan "and recite the Qur'an (aloud) in a slow (pleasant tone and style)", yakni bacalah al-Qur'an dengan suara keras secara perlahan-lahan (dalam nada serta cara yang tenang).
Secara teknis, tartil berkaitan erat dengan pelaksanaan kaidah-kaidah Ilmu Tajwid. Imam an-Nawawi menulis dalam at-Tibyan fi Adabi Hamalati al-Qur'an, hal. 45-46:
Sebaiknya tartil ketika membaca al-Qur'an. Para ulama' telah bersepakat tentang dianjurkannya tartil (membaca perlahan-lahan). Allah berfirman, "wa rattilil Qur'aana tartiila".
Ada sebuah hadits bersumber dari Ummu Salamah radhiya-llahu 'anha bahwa beliau menjelaskan sifat bacaan al-Qur'an Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam, yakni qira'ah muffassirah (bacaan disertai menafsirkan), huruf demi huruf. (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai. Menurut at-Tirmidzi, hadits ini hasan-shahih).
Bersumber dari Mu'awiyah bin Qurrah radhiya-llahu 'anhu, bersumber dari 'Abdullah bin Mughaffal radhiya-llahu 'anhu, bahwasanya dia berkata, "Saya melihat Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam pada hari Penaklukan Kota Makkah, beliau tengah berada di atas untanya membaca surah al-Fath, dan beliau mengulang-ulang bacaannya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu 'Abbas radhiya-llahu 'anhuma berkata, "Sungguh, membaca satu surah dengan tartil lebih saya sukai daripada membaca al-Qur'an seluruhnya."
Mujahid pernah ditanya tentang dua orang (yang mengerjakan shalat), yang satu membaca surah al-Baqarah dan Ali 'Imron, sedang lainnya membaca surah al-Baqarah saja, sementara waktu (yang mereka gunakan), lamanya ruku', sujud dan dan duduk diantara dua sujud, adalah satu serta sama? Maka, Mujahid menjawab bahwa yang membaca surah al-Baqarah saja, itu lebih utama.
Dilarang keras berlebihan dalam kecepatan (membaca al-Qur'an), yang disebut dengan istilah al-hadzramah. Ada sebuah riwayat bersumber dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiya-llahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata kepada beliau, "Saya membaca surah-surah al-Mufashshal dalam satu rakaat." Maka, beliau berkomentar begini begitu, "Itu adalah syair. Sungguh banyak orang membaca al-Qur'an, namun al-Qur'an tidak melewati tenggorokan mereka. Akan tetapi, jika (bacaan itu) jatuh ke hati dan meresap ke dalamnya, itu pasti bermanfaat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim. Lafazh ini dari Muslim menurut salah satu riwayat yang dikemukakannya).
Para ulama' menyatakan, bahwa tartil dianjurkan untuk proses tadabbur atau tujuan lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa tartil dianjurkan terutama bagi orang-orang non-Arab ('ajam), yang tidak memahami maknanya, karena hal lebih mendekatkan kepada sikap pengagungan serta penghormatan terhadap al-Qur'an, serta lebih kuat pengaruhnya ke hati.

Oleh karenanya, dalam al-Muzzammil, tartil adalah membaca al-Qur'an secara bersuara, perlahan dan dengan menerapkan hukum-hukum bacaan recara tepat. Secara khusus, aktifitas ini dilakukan dalam shalat dan di malam hari, yakni qiyamul-lail. Dari sini, diharapkan lahir kesan ke dalam jiwa, sebagaimana dijelaskan dalam rangkaian ayat-ayat al-Muzzammil itu sendiri.

Makna Tilawah
Makna awalnya adalah mengikuti (tabi’a) secara langsung dengan tanpa pemisah, yang secara khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah, baik dengan cara qira’ah (intelektual) atau menjalankan apa yang digariskan di dalamnya (ittiba'). Mengikuti ini bisa secara fisik dan bisa juga secara hukum.[7]
Dengan jelas kita melihat bahwa kata ini mengungkapkan aspek praktis dari 'membaca', yakni sebuah tindakan yang terpadu, baik secara verbal, intelektual maupun fisik dalam mengikuti serta mengamalkan isi Kitabullah. Kata ini berbicara bahwa dalam membaca al-Qur'an tidak boleh sekedar secara intelektual atau lisan. Harus ada tindak lanjutnya yang nyata. Terjemah Inggris untuk tilawah adalah "to follow" (mengikuti), atau menurut Khurram Murad dalam buku Generasi Qur'ani hal. 10-11:
…tilawah pada dasarnya berarti "bergerak maju", mengikuti urutan, pergi mengejar, mengambil sebagai pembimbing, pemimpin, model, menerima wewenang, mendukung penyebabnya, bertindak, mempraktekkan jalan hidup, memahami, mengikuti latihan berpikir – atau mengikuti membaca, memahami dan mengikuti (petunjuk) al-Qur’an – adalah tugas mereka yang mengaku beriman pada kitab suci ini.

Dengan demikian, tilawah merupakan upaya intensif untuk mengikatkan diri kepada firman-firman Allah satu demi satu, selangkah demi selangkah, hingga mencapai taraf tertentu yang dipersyaratkan untuk siap memasuki tingkatan selanjutnya.
Hal ini sejalan dengan pengamatan Dr. Quraish Shihab (Tafsir al-Qur'an al-Karim, hal. 79), bahwa obyek baca kata tilawah dalam al-Qur'an adalah teks suci dan pasti benar. Tentu saja harus demikian, sebab implikasi aktifitas tilawah adalah mengikuti dan menerapkan jalan hidup (way of life) yang digariskan di dalam teks yang dibaca. Jika saja al-Qur'an mengizinkan manusia untuk mengikuti dan menerapkan jalan hidup dari selainnya, maka obyek kata tilawah dalam al-Qur'an akan beraneka ragam. Ternyata tidak demikian. Faktanya, justru kata qira'ah saja yang dalam al-Qur'an dipakai untuk obyek baca beragam, adakalanya yang berasal dari Allah, ada juga yang dari selain-Nya, sebagaiman sudah dibahas di muka.
Kami berkesimpulan, bahwa proses intelektual (qira'ah) bisa berlangsung dengan mempergunakan banyak sumber, baik yang berasal dari Allah maupun selain-Nya. Namun, untuk tartil dan tilawah tidak demikian. Hanya al-Qur'an yang layak mendapat perlakuan itu.

Membaca al-Qur'an
Sederhananya, kita tetap bisa menerjemahkan ketiga kosakata diatas dengan "membaca", sebagaimana yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Akan tetapi, dalam praktek tarbiyah, harus ada penekanan dan fokus yang jelas. Tujuannya, agar kita tidak terjebak pada salah satu aspek membaca dan merasa cukup. Kesulitan dalam berinteraksi dengan al-Qur'an berawal dari tidak lengkapnya thariqah. Boleh jadi, sebagian orang telah berulang-ulang menyelesaikan tartil, namun ia melupakan qira'ah dan tilawah. Atau hanya mengintensifkan qira'ah, tanpa disertai tilawah dan tartil. Pun, bisa jadi ada yang telah menjalankan tilawah, namun tidak ditemukan aktifitas qira'ah dan tartil dalam kesehariannya.
Masing-masing dari ketiga thariqah membaca diatas memiliki fungsi khas. Fungsi-fungsi tersebut harus diseimbangkan sedemikian rupa agar atsar ayat-ayat Allah betul-betul nyata dalam karakter iman kita. Dengan kata lain, dalam berinteraksi dengan al-Qur’an, kita harus melibatkan tiga hal sekaligus.
Pertama, adanya proses qira’ah, berupa pemahaman mendalam, studi intensif, analisa, perenungan, dst. Termasuk dalam cakupan ini adalah hafalan (tahfizh). Aktifitas qira'ah merupakan upaya untuk merawat iman dari sisi intelektual, yakni dengan berdasar ilmu yang benar. Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali menulis kitab al-Arba'in fi Ushuliddin, yang dari struktur pembahasannya terungkap bahwa landasan semua perkara dalam Islam (ushuluddin) adalah ilmu, dimana secara sepesifik dirinci sebagai prinsip-prinsip akidah Islam.[8]
Kedua, sekaligus ada upaya tilawah, yakni aktifitas riil untuk mengikuti isinya, mengamalkan, menerapkan, mengikuti tahapan, mematuhi rambu-rambu, memenuhi haknya sebagai Kitab Suci, menjadikan al-Qur'an sebagai "imam yang diikuti", dst. Aktifitas ini merupakan usaha merawat iman dengan terus-menerus menambah ketaatan, menjauhi kemaksiatan, menjaga adab dan akhlaq baik lahir maupun batin. Iman adalah amal, dan setiap amal pasti memiliki pengaruh kepada keimanan seseorang. Jika baik, maka baiklah pengaruhnya. Demikian pula sebaliknya. Ada cukup banyak hadits shahih tentang masalah ini. Dalam jangakauan yang luas dan rinci, Anda dapat temukan spirit tersebut dalam dua kitab karya Imam an-Nawawi, yaitu Riyadhus Shalihin dan al-Adzkar an-Nawawiyyah.
Ketiga, di sepanjang waktu ini, seseorang tidak boleh lepas dari amaliah lisan, yakni tartil, berupa bacaan-bacaan yang teratur, menerapkan hukum-hukum tajwid, khusyu’, tidak bosan, tidak pula berlebihan, dst. Aktifitas ini bertujuan untuk tetap merawat kedekatan serta keakraban spiritual kita dengan Allah. Ada hadits-hadits yang menyatakan bahwa al-Qur'an adalah tali Allah yang menghubungkan Dia dengan hamba-Nya. Dengan membaca al-Qur'an, seolah kita sendiri yang diajak berbicara oleh-Nya. Masalah ini sudah cukup luas dirinci dalam buku-buku ulumul Qur'an maupun kitab hadits, utamanya bab-bab yang berkaitan dengan fadha'il al-Qur'an. Imam an-Nawawi punya satu karya yanf khusus membahas etika berinteraksi dengan al-Qur'an, at-Tibyaan fi Adabi Hamalati al-Qur'an. Silakan merujuknya kesana.[]
Wallahu a’lam.




[1] Lihat: Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an hal. 413-414; Mukhtaru ash-Shihah I/220; al-Faa'iq III/177; an-Nihayah fi Gharibil Hadits IV/30-31; Lisanul 'Arab I/128-133.
[2] Lihat: Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an hal. 398.
[3] Lihat: A Dictionary of Modern Written Arabic hal. 753;  Kamus Kontemporer "Krapyak" hal. 108-109; Kamus Al-Bisri hal. 589; Kamus Al-Munawwir hal. 1101-1102.
[4] Lihat: Shahih al-Bukhari I/245-246, juga di beberapa tempat lainnya; Shahih Muslim I/465 hadits no. 673; Shahih Ibnu Hibban V/500-501 hadits no. 2127; hal. 505 hadits no. 2033; hal. 516 hadits no. 2144; Shahih Ibnu Khuzaimah hal. 6 bab ke-33; Sunan Abu Dawud V/59 hadits no. 582, dst; Sunan Ibnu Majah I/313 hadits no. 980; As-Sunan al-Kubra li an-Nasai I/279 hadits no. 855; Musnad al-Humaydi I/217, hadits no. 457; at-Tamhid li-Ibni 'Abdil Barr XXII/124;  al-Muntaqa li-Ibnil Jaarud hal. 85, hadits no. 308. Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Baihaqi, 'Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud ath-Thayalisi, ath-Thabrani, dan Ibnul Ja'di dalam kitab mereka masing-masing. Hadits ini bersumber dari satu orang Sahabat saja, yakni Abu Mas'ud al-Anshari al-Badri radhiya-llahu 'anhu.
[5] Lihat: Lisanul 'Arab I/129. Silakan lihat pula penjelasan dalam kitab-kitab fiqh yang membahas masalah ini secara lebih detail.
[6] Lihat: Mu’jam Mufradat li Alfazhil Qur’an hal. 192; A Dictionary of Modern Written Arabic hal. 325;  Kamus "Krapyak", hal. 958, 456; Kamus Al-Bisri, hal. 234-235.
[7] Lihat: Mu’jam Mufradat li Alfazhil Qur’an, entri tala.
[8] Lihat: Arba'in Al-Ghazali, hal. 3 dan seterusnya. Beliau mengawali kitabnya dengan menyebutkan bahwa dasar ilmu yang pertama adalah ilmu (mengetahui) Dzat Allah, yang dilanjutkan dengan prinsip-prinsip mendasar dalam memahami asma', shifat maupun af'al Allah lainnya, kemudian ilmu tentang Hari Akhir dan ilmu tentang Kenabian.