Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 1/9


 
Bismillahirrahmanirrahim

PENDAHULUAN PENERJEMAH

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam bagi Rasulullah, keluarga dan sahabatnya, wa ba'du.
Naskah yang tengah Anda baca ini merupakan terjemahan dari Adabu al-'Ulama' wal-Muta'allimin, karya Imam al-Husain bin al-Manshur al-Yamani. Namun perlu diketahui pula bahwa kitab ini merupakan ringkasan dari karya Nuruddin Abul Hasan as-Sumhudy yang berjudul Jawahiru al-'Uqdain fi Fadhli asy-Syarafain Syarafil 'Ilmi al-Jaly wa an-Nasab al-'Aly (permata-permata dua untaian tentang dua kemuliaan: kemuliaan ilmu yang agung dan kemuliaan garis keturunan yang luhur). Walau isinya sangat berharga, sayang sekali, kami kesulitan untuk mendapatkan data biografi dari kedua penulis tersebut. Hanya ada sedikit yang kami ketahui tentang mereka berdua. Untuk itu, kami sertakan beberapa tinjauan lain yang akan melengkapi pengetahuan kita tentang kitab ini dan penulisnya.

Biografi Nuruddin Abul Hasan as-Sumhudy
Nama lengkapnya adalah 'Ali bin 'Afifuddin 'Abdullah bin Ahmad bin 'Ali bin Muhammad, Nuruddin Abul Hasan as-Sumhudy asy-Syafi'i al-Hasani. Beliau adalah mufti Madinah yang lahir tahun 844 H dan wafat tahun 911 H. Nama as-Samhudy sendiri dinisbatkan kepada daerah kelahirannya, yakni Sumhud, sebuah negeri di sebelah barat sungai Nil di Mesir.
Beliau termasuk ulama' yang produktif dan banyak mempunyai karya tulis, diantaranya adalah: Iqtina'ul Wafa' bi Akhbari Daari al-Mushthafa fi at-Tarikh, Amniyyatu al-Mu'tanin yang merupakan hasyiyah dari kitab Raudhatu ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi, Ikmalu al-Mawahib yang merupakan pelengkap (dzail) dari kitab al-Mawahib al-Karim, al-Anwar as-Sunniyah fi Ajwibati As'ilah al-Yamaniyah, Jawahiru al-'Uqdain fi Fadhli asy-Syarafain Syarafil 'Ilmi al-Jaly wa an-Nasab al-'Aly (kitab yang ringkasannya kita terjemahkan ini), Khulashatu al-Wafa bi Akhbari Daari al-Mushthafa fi Tarikhi al-Madinah (kitab ini sudah dicetak di Mesir), Idhahu al-Bayan lima Araadahu al-Hujjah min laysa fi al-Imkaan Ibda'u min ma Kaana, Duraru as-Sumuth fi ma lil Wudhu'i min asy-Syuruth, Daf'u at-Ta'arrudh wal Inkaar yang merupakan penjelasan dari kitab Raudhatu al-Mukhtar karya Muhammad ad-Daymi, Dzirwatu al-Wafa bi Akhbari Daari al-Mushtafa, Syarhu al-Idhaah yang merupakan penjelasan dari karya Imam an-Nawawi tentang manasik haji, Syifa'u al-Asywaaq li Hukmi ma Yaktsuru Bay'uhu fil Aswaaq, Thiibu al-Kalaam bi Fawa'idi al-Islam, 'Iqdu al-Fariid fi Ahkami at-Taqlid, al-Ghumaz 'ala al-Lamaz fi al-Ahadits al-Maudhu'ah, al-Lu'lu' al-Mantsur fi Nashihati Wulaati al-Umuur, al-Muharrar fi Ta'yini ath-Thalaq, Mawahib al-Karim al-Fattah fi al-Masbuq wa al-Musytaghil bi al-Istiftah, dan lain sebagainya.

Biografi al-Husain bin al-Manshur al-Yamani
Nama lengkapnya adalah Maulana Alam al-Hajar al-Husain bin Amiril Mu'minin al-Manshur-billah al-Qasim bin Muhammad bin 'Ali bin Ja'far ar-Rasyid az-Zaidy al-Yamani, putra penguasa Yaman dari kaum Zaidiyyah yang wafat pada tahun 1050 H. Beliau menulis beberapa karya dan men-syarah-nya sendiri tsb.
Diantara yang ditulisnya adalah Adabu al-'Ulama' wal Muta'allimin (kitab yang terjemahannya ada di hadapan Anda sekarang), al-Ghayah fil Ushul beserta syarah-­nya, dan Kifayatu as-Suul fi 'Ilmi al-Ushul beserta syarah-nya yang diberi judul Hidayatu al-'Uquul.

Zaman Ditulisnya Kitab Ini
Kitab ini ditulis oleh Nuruddin Abul Hasan as-Sumhudy yang hidup pada pertengahan abad ke-9 sampai awal abad ke-10 hijriyah. Periode ini kurang lebih beriringan dengan tahun 1400-1500 masehi. Tentu saja zaman ini adalah zaman dimulainya kolonialisme dan imperialisme Eropa yang kemudian merambah seluruh Dunia Islam. Hanya saja, dalam tahun-tahun ini Madinah masih berada di bawah pemerintahan Khilafah 'Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Di belahan barat dunia Islam, kaum muslimin Andalusia sudah hampir habis akibat tekanan dan pengusiran oleh para penguasa Kristen dan hanya menyisakan Granada di bawah Bani Ahmar yang bertahan sampai 1492 M. Khilafah 'Utsmaniyah sendiri sebenarnya sedang dalam masa kejayaannya, namun tampaknya pertanda kemunduran itu sudah mulai menjalar jauh-jauh hari dengan sangat halus.
Menurut kami, justru inilah salah satu keunikan karya yang terjemahan dari ringkasannya sedang Anda baca sekarang. Dimana, di bawah situasi yang mulai menampakkan gejala kemunduran itu ternyata nilai-nilai Islam tradisional masih terus dipelihara dan berusaha untuk diperkenalkan kembali. Sebagaimana umumnya kitab klasik, tampaknya karya ini disusun oleh sebab-sebab faktual tertentu. Kami menduga, dengan melihat posisi penulisnya sebagai mufti Madinah, kemunduran di bidang adab menuntut ilmu mulai merajalela di masa tersebut. Fakta itulah yang mendorong beliau menulis karya ini.
Pada masa itu pula, kaum muslimin terkotak-kotak dalam berbagai negara kecil maupun besar yang berdiri sendiri dan seringkali saling bermusuhan. Di Semenanjung Malaya, Portugis merebut Malaka tahun 1511 M. Sepuluh tahun kemudian Spanyol masuk ke Jazirah Maluku. Di akhir abad itu, Belanda masuk ke Nusantara dan memonopoli perdagangannya tidak lama kemudian. Namun, sebenarnya beberapa kesultanan justru sedang berjaya, seperti Demak Bintoro di bawah Sultan Trenggono (1524-1546).
Di sisi lain, tampaknya motif peringkasan karya tersebut oleh Maulana Alamul Hajar al-Yamani tidak jauh dari fakta-fakta tersebut. Abad ke-17 dimana beliau hidup adalah periode yang beriringan dengan kekuasaan para khalifah dan sultan yang lemah di tiga negara besar ('Utsmaniyah di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia). Penjajah Kristen Eropa merangsek ke berbagai wilayah kaum muslimin, dan kita sendiri mengetahui apa yang terjadi di Nusantara pada abad tersebut. Saat itu Aceh memang sedang berjaya bersama Sultan Iskandar Muda (1608-1637), namun Demak Bintoro di Jawa sudah ambruk digantikan Pajang dan kemudian Mataram.
Dengan kata lain, spirit yang melatari penulisan maupun peringkasan kitab ini masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi yang kita alami sekarang. Jika gejala kemuduran yang ditangkap kedua ulama' tersebut – pada masa lalu – sudah berakibat sedemikian dahsyat, bagaimana dengan fakta-fakta menyedihkan di zaman kita sekarang? Sebab apapun yang dikatakan orang tentangnya, sungguh dominasi sistem pendidikan Barat modern telah menjadikan kaum muslimin kehilangan ruh pendidikan yang mereka selenggarakan dan justru berakhir sebagai budak-budak materialisme-kapitalisme belaka.

Latar Belakang Kaum Zaidiyyah
Bagi sementara kalangan, kitab Adabu al-'Ulama' wal Muta'allimin yang kami terjemahkan ini terkesan ditulis oleh seorang ulama' Syi'ah, sebab kaum Zaidiyah adalah salah satu sekte Syi'ah. Sebagaimana biasanya, fakta tersebut akan memunculkan sentimen tertentu. Namun, kita juga harus ingat bahwa sesungguhnya Maulana Alamul Hajar al-Yamani bukanlah penulis asli. Beliau hanya meringkas karya seorang ulama' Syafi'iyah dan mufti Madinah yang hidup seabad sebelumnya. Jadi, masalahnya sudah jelas.
Meski demikian, perlu dijelaskan pula fenomena unik ini, dimana karya seorang ulama' Sunni diringkas oleh seorang ulama' Syi'ah dan bahkan sudah diterbitkan atas nama peringkasnya pada tahun 1402 H (1982 M) oleh Darul Ma'arif Beirut. Sebab, biasanya antara keduanya sukar dipertemukan dan bahkan saling menafikan satu sama lain. Untuk itu, kiranya penting disebutkan disini siapakah kaum Zaidiyyah sebenarnya?
Kaum Zaidiyyah adalah salah satu sekte Syi'ah yang menisbatkan diri mereka kepada Zaid bin 'Ali Zainal 'Abidin bin al-Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. 'Ali bin al-Husian sendiri adalah satu-satunya putra al-Husain yang selamat dari pembantaian di Karbala'. Dalam masalah teologi kaum ini lebih dekat kepada Ahlus Sunnah, demikian juga dalam madzhab fiqh mereka. Oleh karenanya kaum ini sering dianggap sebagai sekte Syi'ah yang paling moderat, dan madzhab fiqh mereka diakui otoritasnya secara ilmiah. Diantara bukti pengakuan ini adalah dijadikannya madzhab fiqh Zaidiyyah sebagai salah satu matakuliah wajib di fakultas Syari'ah Universitas Al-Azhar Mesir sampai sekarang. Kaum ini juga tidak berkeyakinan bahwa Rasulullah telah menetapkan 'Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sepeninggal beliau – yang merupakan isu sentral Syi'ah – hanya saja Zaidiyyah meyakini bahwa 'Ali adalah sahabat yang paling utama setelah Rasulullah dan yang paling berhak terhadap khilafah. Namun, Abu Bakar telah diserahi amanah khilafah terlebih dahulu karena adanya suatu maslahat tertentu menurut pandangan para sahabat, dan juga karena keteguhan agama beliau dalam menenangkan kaum muslimin serta meredam fitnah yang timbul mengiringi wafatnya Rasulullah.
Pemimpin kaum ini, yakni Zaid bin 'Ali, pernah mengobarkan pemberontakan pada zaman kekhilafahan Hisyam bin 'Abdul Malik dari Dinasti Umawiyah. Tetapi beliau dikhianati orang-orang Kufah semula berjanji mendukungnya, sehingga akhirnya terbunuh di tangan pasukan gubernur Ibnu Hubairah pada tahun 123 H. Kepalanya dipenggal dan diarak ke Damaskus, sementara jenazahnya disalib, dibakar serta dibiarkan begitu sampai diturunkan 4 tahun kemudian. Rupanya, nasibnya tidak bergeser dari nasib kakeknya, al-Husain bin 'Ali, yang juga dikhianati oleh penduduk Kufah. Sejarah mencatat penyebab pengkhianatan mereka terhadap Zaid bin 'Ali ini. Disebutkan bahwa ketika sampai di Kufah, beliau ditanya tentang khalifah Abu Bakar dan 'Umar. Beliau mengatakan yang baik-baik tentang mereka berdua, sehingga penduduk Kufah – yakni kaum Syi'ah – langsung menolak bergabung dengan pasukannya. Beliau kemudian menyebut golongan yang tidak mau bergabung ini dengan Rafidhah, artinya "orang yang menolak". Sementara orang-orang yang bergabung dengan beliau kemudian disebut Zaidiyyah.
Dalam sejarah, kaum Rafidhah dikenal sangat ekstrim dalam segala hal. Mereka bahkan mengkafirkan semua sahabat – terutama Abu Bakar dan Umar yang dianggapnya telah merebut hak khilafah 'Ali – dan hanya memuji sedikit saja, seperti Salman al-Farisi atau Abu Dzarr al-Ghifari. Para ulama' Ahli Hadits memberikan cap paling buruk kepada perawi yang diketahui mengikuti madzhab Rafidhah, karena mereka menghalalkan berbohong dalam meriwayatkan hadits Rasulullah. Perawi dari kalangan ini pasti mendapat catatan negatif dan biasanya ditolak.
Kekuasan kaum Zaidiyyah berpusat di Sha'dah, sebuah daerah yang memiliki banyak benteng terkenal di pegunungan sebelah timur Shan'a (Yaman). Penguasa pertamanya adalah Yahya bin al-Husain, salah seorang keturunan Zaid bin 'Ali, tepatnya cucu dari al-Qasim ar-Rassy salah seorang ulama' Zaidiyyah kenamaan. Yahya mendirikan pemerintahannya pada tahun 246 H bersama sekitar 50 orang pendukung utamanya. Abad ketiga hijriyah memang dikenal sebagai masa disintegrasi di tubuh Khilafah Islamiyah, dimana berbagai penguasa daerah dengan aliran pemikiran dan orientasi politik yang berlainan saling berlomba untuk memisahkan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Pada masa Yahya ini, pemerintahannya sempat menguat. Diantara usaha yang dilakukannya adalah memperbaiki hubungan antara umat Islam dengan kaum Nasrani Najran yan memburuk sejak beberapa waktu sebelumnya. Sayang kekuasaannya tenggelam dan tak ada yang mewarisi, sampai beberapa waktu kemudian tampil kembali setelah anak-cucunya berhasil menguasai Yaman. Negara mereka berdiri dua kali, yakni periode 246-269 H dan 593-700 H.

Tentang Kitab Ini
Kiranya penting diingat bahwa di sepanjang kitab ini seorang guru senantiasa diidentikkan dengan seorang 'alim, bentuk mufrod dari ulama'. Dengan sendirinya, kedudukan seorang guru adalah kedudukan seorang ulama' dalam arti sesungguhnya, termasuk kedudukan sebagai pewaris para Nabi. Ide ini khas Islam, dan tampaknya hanya Islam saja yang menempatkan guru dalam posisi sedemikian strategis sehingga setara dengan para manusia mulia yang diutus Allah untuk membimbing hamba-hamba-Nya di muka bumi. Visi ini demikian jelas di masa silam, yang melahirkan penghargaan dan prestise sangat tinggi di mata umat. Seorang 'alim, di masa lalu, adalah bagian dari matarantai tak terputus yang menyambungkan umat dengan Nabinya, dan itu berarti pula satu-satunya sanad yang terpercaya untuk mengenal Allah dalam kehidupan ini. Tentu saja, selain memiliki bekal otoritas ilmiah, maka secara moral mereka adalah orang-orang yang kredibel dan patut diteladani.
Dengan demikian, adalah layak jika menjadi seorang 'alim merupakan cita-cita tertinggi para pemuda muslim. Kehidupan yang berkiblat kepada para 'alim pun merupakan cerminan masyarakat ideal, sebagaimana zaman para sahabat yang berkiblat kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam. Sebab, mereka adalah pewaris para Nabi, sementara di dunia ini tidak ada manusia yang lebih mulia dibanding mereka. Cita-cita spiritual yang luhur inilah yang menyemangati ribuan pencari hadits dan penuntut ilmu untuk mengembara ke berbagai pelosok wilayah kekhilafahan dan menemui para guru terbaik yang ada di setiap kota. Dengan sendirinya, kehidupan modern kita yang berkiblat kepada para politikus, pemilik modal dan selebritis adalah praktik-praktik yang samasekali tidak Islami. Di masa lalu, ketika kesadaran spiritual umat masih terawat dengan cukup baik, kelompok terakhir ini cenderung dipandang rendah dan hanya akan dihargai jika terdapat kualitas ulama' dalam diri mereka, seperti para Khulafa' Rasyidun. Lain itu tidak.
Dengan kata lain, pilihan terhadap ikon kehidupan tersebut mencerminkan filosofi yang mendominasi pemikiran umat pada suatu zaman. Ketika mereka berkiblat dengan sukarela kepada para pewaris Nabi, wahyu dan ilmu, maka visi mereka jelas terfokus ke akhirat. Apapun yang mereka perbuat selalu diukur dengan visi ukhrawi ini, yakni apakah semua itu akan mendatangkan keridhaan Allah atau justru memancing kemurkaan-Nya? Ketika ikon mereka berubah, dimana umat berkiblat kepada politikus, pemilik modal dan selebritis seperti di zaman kita sekarang, sesungguhnya dengan jelas telah terlihat kemana mereka menuju. Umat seperti ini adalah pengagum dunia dan biasanya bersedia untuk mengorbankan serta memperalat apa saja demi dunia, tidak terkecuali wahyu dan ilmu.
Tradisi yang sampai kepada kita menceritakan bagaimana – di suatu masa –kedudukan seorang 'alim begitu dihargai. Khazanah klasik kita merekam berbagai ungkapan dan kisah nyata yang sangat mengharukan seputar masalah ini. Dan, tentu saja untuk mampu meraih maqam spiritual yang sangat terhormat itu tidak bisa main-main. Seorang guru dan pelajar harus menerapkan serangkaian adab yang ditujukan untuk memastikan bahwa perjalanan mereka tidak melenceng sejak awal sampai akhir. Termasuk dalam hal ini adalah memahami masalah hierarki ilmu, sumber maupun otoritas yang membawakannya. Tidak mengherankan jika cukup banyak kitab yang ditulis seputar masalah ini. Sebab, bila kenabian (nubuwwah) dan wahyu adalah anugrah ilahiyah yang ditentukan pemberiannya oleh Allah bagi mereka yang layak menyandangnya, demikian pula martabat pewaris para Nabi (waratsatu al-anbiya') dan cahaya ilmu hanya akan dikaruniakan bagi mereka yang layak untuk itu. Kitab-kitab adab menjelaskan dengan rinci ciri-ciri kalangan ini, beserta adab-adab yang mesti dijaga agar seorag guru dan murid bisa termasuk golongan mereka.
Sayangnya, kini visi semacam itu semakin memudar dan diganti dengan atribut seorang guru dalam budaya sekuler-materialis yang menempatkannya tidak lebih sebagai tenaga kerja terdidik. Atribut ini, yang sebenarnya mencerminkan pandangan yang lebih gawat tentang hakikat guru dan fungsi mereka dalam kehidupan, cenderung simplistik dan melecehkan guru sekedar sebagai sebuah profesi, mungkin tidak ada bedanya dengan sopir atau tukang sapu, bukan sebagai panggilan hidup. Pandangan ini tentu saja berimplikasi pada proses penyiapan tenaga guru itu sendiri yang serampangan dan terkesan tidak seserius penyiapan tenaga dokter, misalnya. Padahal, dokter adalah tenaga yang difungsikan untuk memenuhi sektor fardhu kifayah, sementara para guru adalah tenaga di lapangan fardhu 'ain, yakni dalam upaya memperkenalkan umat kepada Allah dan merawat moralitas maupun spirit mereka dari tipuan duniawi.
Dapat dicatat pula bahwa di masa silam, menjadi seorang 'alim adalah bagian dari cita-cita religius, yang dengannya seseorang menempuh jalan pengabdian ('ubudiyah) kepada Allah, dan darinya diharapkan ridha serta rahmat-Nya. Karenanya pula, tidak layak adanya harapan material dengan pilihan ini, sebagaimana umumnya setiap ibadah yang tidak boleh diminta upah duniawi daripadanya. Hanya Allah yang akan membalas seluruh kesungguhan dan kerja keras tersebut. Dan, tentu saja, kewajiban untuk menerapkan adab menjadi sangat penting, dimana kitab yang terjemahannya Anda baca sekarang ditulis dalam rangka itu. Sebab dalam pandangan Islam, tidak ada ilmu yang bisa ditanamkan jika adab-adab telah diabaikan. Adab, dalam konteks ini, bukan hanya mencakup etika profesional yang sempit, namun lebih jauh menyangkut disiplin spiritual yang dengannya seseorang mengenal tempat dan posisi setiap perkara, lalu memilih sikap dan tindakan yang paling tepat terhadapnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah serangkaian proses untuk mengenal dan melatih diri dalam disiplin spiritual semacam ini.
Semangat itulah yang mengalir kuat dalam kitab ini, yang menggemakan nilai-nilai Islam dalam menempatkan guru berikut peran dan fungsinya di tengah-tengah umat, juga membimbing para pelajar untuk bersikap semestinya kepada para guru, ilmu, diri mereka sendiri, teman sesama pelajar maupun buku sebagai salah satu sarana belajar. Kami mengajak pembaca untuk kembali mengenali hal itu, di tengah-tengah gelombang materialisme-sekulerisme yang kian tak terbendung. Mungkin, sebagian dari isi kitab ini terasa asing dan berlebihan bagi para guru dan pembaca modern. Namun, hal itu bukan karena ia mengada-ada, namun dikarenakan kultur kita sendiri – sebagai umat Islam – yang sudah terlalu jauh dari warna aslinya. Sebagian saran maupun alasan yang mendasari suatu penerapan adab kadang juga tidak valid lagi menurut penilaian mutakhir, sebagaimana akan Anda saksikan nanti. Namun, pesan aslinya tetap benar, tinggal kejelian kita untuk memahami bentuk penerapannya yang paling tepat di zaman sekarang.
Dalam kacamata tradisional, ilmu tentang adab guru dan murid adalah bagian dari kurikulum utama (core-curriculum) pendidikan. Artinya, adab adalah pelajaran pertama yang pasti diberikan jauh sebelum seluruh proses pendidikan itu sendiri berlangsung. Secara sederhana dapat diringkas bahwa arah utama pendidikan adab adalah mempelajari bagaimana caranya belajar (learning how to learn). Ada banyak kitab yang dikarang untuk tujuan ini, seperti Ta'limu al-Muta'allim karya az-Zarnuji, Bidayatu al-Hidayah karya al-Ghazali, Adabu al-Imla' wal Istimla' karya as-Sam'ani, dan al-Jami' li Akhlaqi ar-Raawi wa Adabi as-Saami' karya al-Khathib al-Baghdadi. Khusus untuk kitab terakhir ini isinya banyak dirujuk dalam buku yang kita terjemahkan.
Pada saat bersamaan, baik guru maupun murid sepenuhnya sadar bahwa keberhasilan maupun kegagalan pendidikan sangat tergantung pada tahap ini. Dengan kata lain, banyak lembaga pendidikan maupun pelajar yang gagal merealisasikan visi-misinya serta memperoleh manfaat pendidikan dikarenakan gagal melampaui proses pertama ini.
Dalam kurikulum pendidikan Islam tradisional, dimana muatannya secara umum dibagi menjadi ilmu fardhu 'ain dan fardhu kifayah, maka mengenal adab adalah bagian dari ilmu fardhu 'ain yang bersifat dinamis dan berkembang selaras dengan tuntutan situasi. Tepatnya, karena kita adalah guru dan juga para murid, maka sudah selayaknya untuk mengetahui bagaimana bimbingan yang benar dalam menjalani 'profesi' dan status tersebut. Ciri dinamis dari ilmu fardhu 'ain ini senantiasa terkait dengan apa yang disebut al-haal dan al-maqaam, yakni kondisi riil dan tingkat-tingkat spiritual yang dilalui seseorang sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah bagian dari perjalanan pematangan spiritualitas manusia dalam menjalani fungsi dan perannya di muka bumi.
Isi kitab ini disajikan dalam gaya yang ringkas dan instruktif, dimana berbagai adab dipaparkan secara urut dengan uraian yang singkat namun padat. Secara umum, isi kitab ini dibagi menjadi delapan bagian, yakni:
1.       Adab guru kepada ilmunya
2.       Adab guru dalam mengajar
3.       Adab guru kepada murid-muridnya
4.       Adab murid kepada dirinya sendiri
5.       Adab murid kepada guru sebagai teladannya
6.       Adab murid dalam belajar
7.       Adab kepada kitab yang merupakan sarana belajar
8.       Adab-adab suci bagi Ahli Bait Nabi
Khusus bab terakhir, tampaknya terkait erat dengan status penulisnya yang adalah seorang sayyid atau anggota keluarga keturunan Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam.
Akhir kata, semoga usaha sederhana ini dapat memberi manfaat dan menjadi jalan untuk hidupnya kembali sunnah Rasulullah di tengah-tengah kita, wa la haula wa la quwwata illa billah.

Sumbersekar, Jumadil Akhirah 1428 H
M. Alimin Mukhtar (Penerjemah)

-- bersambung --