Terjemah "Adabul 'Ulama' wal Muta'allimin" karya As-Sumhudi & Maulana Alamul Hajar al-Yamani - Bag. 1/9
Bismillahirrahmanirrahim
PENDAHULUAN PENERJEMAH
Segala puji
bagi Allah, shalawat dan salam bagi Rasulullah, keluarga dan sahabatnya, wa
ba'du.
Naskah yang
tengah Anda baca ini merupakan terjemahan dari Adabu al-'Ulama'
wal-Muta'allimin, karya Imam al-Husain bin al-Manshur al-Yamani. Namun
perlu diketahui pula bahwa kitab ini merupakan ringkasan dari karya Nuruddin
Abul Hasan as-Sumhudy yang berjudul Jawahiru al-'Uqdain fi Fadhli
asy-Syarafain Syarafil 'Ilmi al-Jaly wa an-Nasab al-'Aly (permata-permata
dua untaian tentang dua kemuliaan: kemuliaan ilmu yang agung dan kemuliaan
garis keturunan yang luhur). Walau isinya sangat berharga, sayang
sekali, kami kesulitan untuk mendapatkan data biografi dari kedua penulis
tersebut. Hanya ada sedikit yang kami ketahui tentang mereka berdua. Untuk itu,
kami sertakan beberapa tinjauan lain yang akan melengkapi pengetahuan kita
tentang kitab ini dan penulisnya.
Biografi
Nuruddin Abul Hasan as-Sumhudy
Nama lengkapnya
adalah 'Ali bin 'Afifuddin 'Abdullah bin Ahmad bin 'Ali bin Muhammad, Nuruddin
Abul Hasan as-Sumhudy asy-Syafi'i al-Hasani. Beliau adalah mufti Madinah yang
lahir tahun 844 H dan wafat tahun 911 H. Nama as-Samhudy sendiri dinisbatkan
kepada daerah kelahirannya, yakni Sumhud, sebuah negeri di sebelah barat sungai
Nil di Mesir.
Beliau termasuk
ulama' yang produktif dan banyak mempunyai karya tulis, diantaranya adalah: Iqtina'ul
Wafa' bi Akhbari Daari al-Mushthafa fi at-Tarikh, Amniyyatu al-Mu'tanin
yang merupakan hasyiyah dari kitab Raudhatu ath-Thalibin karya
Imam an-Nawawi, Ikmalu al-Mawahib yang merupakan pelengkap (dzail)
dari kitab al-Mawahib al-Karim, al-Anwar as-Sunniyah fi Ajwibati As'ilah
al-Yamaniyah, Jawahiru al-'Uqdain fi Fadhli asy-Syarafain Syarafil 'Ilmi
al-Jaly wa an-Nasab al-'Aly (kitab yang ringkasannya kita terjemahkan ini),
Khulashatu al-Wafa bi Akhbari Daari al-Mushthafa fi Tarikhi al-Madinah
(kitab ini sudah dicetak di Mesir), Idhahu al-Bayan lima Araadahu al-Hujjah
min laysa fi al-Imkaan Ibda'u min ma Kaana, Duraru as-Sumuth fi ma lil Wudhu'i
min asy-Syuruth, Daf'u at-Ta'arrudh wal Inkaar yang merupakan penjelasan
dari kitab Raudhatu al-Mukhtar karya Muhammad ad-Daymi, Dzirwatu
al-Wafa bi Akhbari Daari al-Mushtafa, Syarhu al-Idhaah yang merupakan
penjelasan dari karya Imam an-Nawawi tentang manasik haji, Syifa'u
al-Asywaaq li Hukmi ma Yaktsuru Bay'uhu fil Aswaaq, Thiibu al-Kalaam bi
Fawa'idi al-Islam, 'Iqdu al-Fariid fi Ahkami at-Taqlid, al-Ghumaz 'ala al-Lamaz
fi al-Ahadits al-Maudhu'ah, al-Lu'lu' al-Mantsur fi Nashihati Wulaati al-Umuur,
al-Muharrar fi Ta'yini ath-Thalaq, Mawahib al-Karim al-Fattah fi al-Masbuq wa
al-Musytaghil bi al-Istiftah, dan lain sebagainya.
Biografi al-Husain
bin al-Manshur al-Yamani
Nama lengkapnya
adalah Maulana Alam al-Hajar al-Husain bin Amiril Mu'minin al-Manshur-billah
al-Qasim bin Muhammad bin 'Ali bin Ja'far ar-Rasyid az-Zaidy al-Yamani, putra
penguasa Yaman dari kaum Zaidiyyah yang wafat pada tahun 1050 H. Beliau menulis
beberapa karya dan men-syarah-nya sendiri tsb.
Diantara
yang ditulisnya adalah Adabu al-'Ulama' wal Muta'allimin (kitab yang
terjemahannya ada di hadapan Anda sekarang), al-Ghayah fil Ushul beserta
syarah-nya, dan Kifayatu as-Suul fi 'Ilmi al-Ushul beserta syarah-nya
yang diberi judul Hidayatu al-'Uquul.
Zaman
Ditulisnya Kitab Ini
Kitab ini
ditulis oleh Nuruddin Abul Hasan as-Sumhudy yang hidup pada pertengahan abad
ke-9 sampai awal abad ke-10 hijriyah. Periode ini kurang lebih beriringan
dengan tahun 1400-1500 masehi. Tentu saja zaman ini adalah zaman dimulainya kolonialisme
dan imperialisme Eropa yang kemudian merambah seluruh Dunia Islam. Hanya saja,
dalam tahun-tahun ini Madinah masih berada di bawah pemerintahan Khilafah
'Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Di belahan barat dunia Islam, kaum muslimin
Andalusia sudah hampir habis akibat tekanan dan pengusiran oleh para penguasa
Kristen dan hanya menyisakan Granada di bawah Bani Ahmar yang bertahan sampai 1492
M. Khilafah 'Utsmaniyah sendiri sebenarnya sedang dalam masa kejayaannya, namun
tampaknya pertanda kemunduran itu sudah mulai menjalar jauh-jauh hari dengan
sangat halus.
Menurut
kami, justru inilah salah satu keunikan karya yang terjemahan dari ringkasannya
sedang Anda baca sekarang. Dimana, di bawah situasi yang mulai menampakkan
gejala kemunduran itu ternyata nilai-nilai Islam tradisional masih terus
dipelihara dan berusaha untuk diperkenalkan kembali. Sebagaimana umumnya kitab
klasik, tampaknya karya ini disusun oleh sebab-sebab faktual tertentu. Kami menduga,
dengan melihat posisi penulisnya sebagai mufti Madinah, kemunduran di bidang
adab menuntut ilmu mulai merajalela di masa tersebut. Fakta itulah yang
mendorong beliau menulis karya ini.
Pada masa
itu pula, kaum muslimin terkotak-kotak dalam berbagai negara kecil maupun besar
yang berdiri sendiri dan seringkali saling bermusuhan. Di Semenanjung Malaya,
Portugis merebut Malaka tahun 1511 M. Sepuluh tahun kemudian Spanyol masuk ke
Jazirah Maluku. Di akhir abad itu, Belanda masuk ke Nusantara dan memonopoli
perdagangannya tidak lama kemudian. Namun, sebenarnya beberapa kesultanan
justru sedang berjaya, seperti Demak Bintoro di bawah Sultan Trenggono (1524-1546).
Di sisi lain,
tampaknya motif peringkasan karya tersebut oleh Maulana Alamul Hajar al-Yamani
tidak jauh dari fakta-fakta tersebut. Abad ke-17 dimana beliau hidup adalah
periode yang beriringan dengan kekuasaan para khalifah dan sultan yang lemah di
tiga negara besar ('Utsmaniyah di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia).
Penjajah Kristen Eropa merangsek ke berbagai wilayah kaum muslimin, dan kita
sendiri mengetahui apa yang terjadi di Nusantara pada abad tersebut. Saat itu
Aceh memang sedang berjaya bersama Sultan Iskandar
Muda (1608-1637), namun Demak Bintoro di Jawa sudah ambruk digantikan Pajang
dan kemudian Mataram.
Dengan kata lain, spirit yang melatari penulisan maupun peringkasan kitab
ini masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi yang kita alami sekarang. Jika
gejala kemuduran yang ditangkap kedua ulama' tersebut – pada masa lalu – sudah berakibat
sedemikian dahsyat, bagaimana dengan fakta-fakta menyedihkan di zaman kita
sekarang? Sebab apapun yang dikatakan orang tentangnya, sungguh dominasi sistem
pendidikan Barat modern telah menjadikan kaum muslimin kehilangan ruh
pendidikan yang mereka selenggarakan dan justru berakhir sebagai budak-budak
materialisme-kapitalisme belaka.
Latar
Belakang Kaum Zaidiyyah
Bagi sementara
kalangan, kitab Adabu al-'Ulama' wal Muta'allimin yang kami terjemahkan
ini terkesan ditulis oleh seorang ulama' Syi'ah, sebab kaum Zaidiyah adalah
salah satu sekte Syi'ah. Sebagaimana biasanya, fakta tersebut akan memunculkan sentimen
tertentu. Namun, kita juga harus ingat bahwa sesungguhnya Maulana Alamul Hajar
al-Yamani bukanlah penulis asli. Beliau hanya meringkas karya seorang ulama'
Syafi'iyah dan mufti Madinah yang hidup seabad sebelumnya. Jadi, masalahnya
sudah jelas.
Meski
demikian, perlu dijelaskan pula fenomena unik ini, dimana karya seorang ulama'
Sunni diringkas oleh seorang ulama' Syi'ah dan bahkan sudah diterbitkan atas
nama peringkasnya pada tahun 1402 H (1982 M) oleh Darul Ma'arif Beirut. Sebab,
biasanya antara keduanya sukar dipertemukan dan bahkan saling menafikan satu
sama lain. Untuk itu, kiranya penting disebutkan disini siapakah kaum Zaidiyyah
sebenarnya?
Kaum
Zaidiyyah adalah salah satu sekte Syi'ah yang menisbatkan diri mereka kepada
Zaid bin 'Ali Zainal 'Abidin bin al-Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. 'Ali bin
al-Husian sendiri adalah satu-satunya putra al-Husain yang selamat dari
pembantaian di Karbala'. Dalam masalah teologi kaum ini lebih dekat kepada
Ahlus Sunnah, demikian juga dalam madzhab fiqh mereka. Oleh karenanya kaum ini sering
dianggap sebagai sekte Syi'ah yang paling moderat, dan madzhab fiqh mereka
diakui otoritasnya secara ilmiah. Diantara bukti pengakuan ini adalah
dijadikannya madzhab fiqh Zaidiyyah sebagai salah satu matakuliah wajib di
fakultas Syari'ah Universitas Al-Azhar Mesir sampai sekarang. Kaum ini juga
tidak berkeyakinan bahwa Rasulullah telah menetapkan 'Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah sepeninggal beliau – yang merupakan isu sentral Syi'ah – hanya
saja Zaidiyyah meyakini bahwa 'Ali adalah sahabat yang paling utama setelah
Rasulullah dan yang paling berhak terhadap khilafah. Namun, Abu Bakar telah
diserahi amanah khilafah terlebih dahulu karena adanya suatu maslahat
tertentu menurut pandangan para sahabat, dan juga karena keteguhan agama beliau
dalam menenangkan kaum muslimin serta meredam fitnah yang timbul mengiringi
wafatnya Rasulullah.
Pemimpin kaum
ini, yakni Zaid bin 'Ali, pernah mengobarkan pemberontakan pada zaman
kekhilafahan Hisyam bin 'Abdul Malik dari Dinasti Umawiyah. Tetapi beliau
dikhianati orang-orang Kufah semula berjanji mendukungnya, sehingga akhirnya
terbunuh di tangan pasukan gubernur Ibnu Hubairah pada tahun 123 H. Kepalanya
dipenggal dan diarak ke Damaskus, sementara jenazahnya disalib, dibakar serta
dibiarkan begitu sampai diturunkan 4 tahun kemudian. Rupanya, nasibnya tidak
bergeser dari nasib kakeknya, al-Husain bin 'Ali, yang juga dikhianati oleh
penduduk Kufah. Sejarah mencatat penyebab pengkhianatan mereka terhadap Zaid
bin 'Ali ini. Disebutkan bahwa ketika sampai di Kufah, beliau ditanya tentang
khalifah Abu Bakar dan 'Umar. Beliau mengatakan yang baik-baik tentang mereka
berdua, sehingga penduduk Kufah – yakni kaum Syi'ah – langsung menolak
bergabung dengan pasukannya. Beliau kemudian menyebut golongan yang tidak mau
bergabung ini dengan Rafidhah, artinya "orang yang menolak".
Sementara orang-orang yang bergabung dengan beliau kemudian disebut Zaidiyyah.
Dalam
sejarah, kaum Rafidhah dikenal sangat ekstrim dalam segala hal. Mereka bahkan
mengkafirkan semua sahabat – terutama Abu Bakar dan Umar yang dianggapnya telah
merebut hak khilafah 'Ali – dan hanya memuji sedikit saja, seperti Salman
al-Farisi atau Abu Dzarr al-Ghifari. Para ulama' Ahli Hadits memberikan cap
paling buruk kepada perawi yang diketahui mengikuti madzhab Rafidhah, karena
mereka menghalalkan berbohong dalam meriwayatkan hadits Rasulullah. Perawi dari
kalangan ini pasti mendapat catatan negatif dan biasanya ditolak.
Kekuasan
kaum Zaidiyyah berpusat di Sha'dah, sebuah daerah yang memiliki banyak benteng
terkenal di pegunungan sebelah timur Shan'a (Yaman). Penguasa pertamanya adalah
Yahya bin al-Husain, salah seorang keturunan Zaid bin 'Ali, tepatnya cucu dari
al-Qasim ar-Rassy salah seorang ulama' Zaidiyyah kenamaan. Yahya mendirikan
pemerintahannya pada tahun 246 H bersama sekitar 50 orang pendukung utamanya.
Abad ketiga hijriyah memang dikenal sebagai masa disintegrasi di tubuh Khilafah
Islamiyah, dimana berbagai penguasa daerah dengan aliran pemikiran dan
orientasi politik yang berlainan saling berlomba untuk memisahkan diri dari
kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Pada masa
Yahya ini, pemerintahannya sempat menguat. Diantara usaha yang dilakukannya
adalah memperbaiki hubungan antara umat Islam dengan kaum Nasrani Najran yan
memburuk sejak beberapa waktu sebelumnya. Sayang kekuasaannya tenggelam dan tak
ada yang mewarisi, sampai beberapa waktu kemudian tampil kembali setelah anak-cucunya
berhasil menguasai Yaman. Negara mereka berdiri dua kali, yakni periode 246-269
H dan 593-700 H.
Tentang
Kitab Ini
Kiranya penting
diingat bahwa di sepanjang kitab ini seorang guru senantiasa diidentikkan
dengan seorang 'alim, bentuk mufrod dari ulama'. Dengan
sendirinya, kedudukan seorang guru adalah kedudukan seorang ulama' dalam arti
sesungguhnya, termasuk kedudukan sebagai pewaris para Nabi. Ide ini khas Islam,
dan tampaknya hanya Islam saja yang menempatkan guru dalam posisi sedemikian
strategis sehingga setara dengan para manusia mulia yang diutus Allah untuk
membimbing hamba-hamba-Nya di muka bumi. Visi ini demikian jelas di masa silam,
yang melahirkan penghargaan dan prestise sangat tinggi di mata umat. Seorang 'alim,
di masa lalu, adalah bagian dari matarantai tak terputus yang menyambungkan
umat dengan Nabinya, dan itu berarti pula satu-satunya sanad yang
terpercaya untuk mengenal Allah dalam kehidupan ini. Tentu saja, selain
memiliki bekal otoritas ilmiah, maka secara moral mereka adalah orang-orang
yang kredibel dan patut diteladani.
Dengan
demikian, adalah layak jika menjadi seorang 'alim merupakan cita-cita
tertinggi para pemuda muslim. Kehidupan yang berkiblat kepada para 'alim
pun merupakan cerminan masyarakat ideal, sebagaimana zaman para sahabat yang berkiblat
kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi wasallam. Sebab, mereka
adalah pewaris para Nabi, sementara di dunia ini tidak ada manusia yang lebih
mulia dibanding mereka. Cita-cita spiritual yang luhur inilah yang menyemangati
ribuan pencari hadits dan penuntut ilmu untuk mengembara ke berbagai pelosok
wilayah kekhilafahan dan menemui para guru terbaik yang ada di setiap kota.
Dengan sendirinya, kehidupan modern kita yang berkiblat kepada para politikus,
pemilik modal dan selebritis adalah praktik-praktik yang samasekali tidak
Islami. Di masa lalu, ketika kesadaran spiritual umat masih terawat dengan
cukup baik, kelompok terakhir ini cenderung dipandang rendah dan hanya akan
dihargai jika terdapat kualitas ulama' dalam diri mereka, seperti para Khulafa'
Rasyidun. Lain itu tidak.
Dengan kata
lain, pilihan terhadap ikon kehidupan tersebut mencerminkan filosofi yang
mendominasi pemikiran umat pada suatu zaman. Ketika mereka berkiblat dengan
sukarela kepada para pewaris Nabi, wahyu dan ilmu, maka visi mereka jelas
terfokus ke akhirat. Apapun yang mereka perbuat selalu diukur dengan visi
ukhrawi ini, yakni apakah semua itu akan mendatangkan keridhaan Allah atau
justru memancing kemurkaan-Nya? Ketika ikon mereka berubah, dimana umat
berkiblat kepada politikus, pemilik modal dan selebritis seperti di zaman kita
sekarang, sesungguhnya dengan jelas telah terlihat kemana mereka menuju. Umat
seperti ini adalah pengagum dunia dan biasanya bersedia untuk mengorbankan
serta memperalat apa saja demi dunia, tidak terkecuali wahyu dan ilmu.
Tradisi yang
sampai kepada kita menceritakan bagaimana – di suatu masa –kedudukan seorang 'alim
begitu dihargai. Khazanah klasik kita merekam berbagai ungkapan dan kisah
nyata yang sangat mengharukan seputar masalah ini. Dan, tentu saja untuk mampu
meraih maqam spiritual yang sangat terhormat itu tidak bisa main-main.
Seorang guru dan pelajar harus menerapkan serangkaian adab yang ditujukan untuk
memastikan bahwa perjalanan mereka tidak melenceng sejak awal sampai akhir. Termasuk
dalam hal ini adalah memahami masalah hierarki ilmu, sumber maupun otoritas
yang membawakannya. Tidak mengherankan jika cukup banyak kitab yang ditulis
seputar masalah ini. Sebab, bila kenabian (nubuwwah) dan wahyu adalah
anugrah ilahiyah yang ditentukan pemberiannya oleh Allah bagi mereka yang layak
menyandangnya, demikian pula martabat pewaris para Nabi (waratsatu al-anbiya')
dan cahaya ilmu hanya akan dikaruniakan bagi mereka yang layak untuk itu.
Kitab-kitab adab menjelaskan dengan rinci ciri-ciri kalangan ini, beserta
adab-adab yang mesti dijaga agar seorag guru dan murid bisa termasuk golongan
mereka.
Sayangnya, kini
visi semacam itu semakin memudar dan diganti dengan atribut seorang guru dalam budaya
sekuler-materialis yang menempatkannya tidak lebih sebagai tenaga kerja
terdidik. Atribut ini, yang sebenarnya mencerminkan pandangan yang lebih gawat
tentang hakikat guru dan fungsi mereka dalam kehidupan, cenderung simplistik
dan melecehkan guru sekedar sebagai sebuah profesi, mungkin tidak ada bedanya
dengan sopir atau tukang sapu, bukan sebagai panggilan hidup. Pandangan ini
tentu saja berimplikasi pada proses penyiapan tenaga guru itu sendiri yang
serampangan dan terkesan tidak seserius penyiapan tenaga dokter, misalnya.
Padahal, dokter adalah tenaga yang difungsikan untuk memenuhi sektor fardhu
kifayah, sementara para guru adalah tenaga di lapangan fardhu 'ain,
yakni dalam upaya memperkenalkan umat kepada Allah dan merawat moralitas maupun
spirit mereka dari tipuan duniawi.
Dapat
dicatat pula bahwa di masa silam, menjadi seorang 'alim adalah bagian
dari cita-cita religius, yang dengannya seseorang menempuh jalan pengabdian ('ubudiyah)
kepada Allah, dan darinya diharapkan ridha serta rahmat-Nya. Karenanya pula,
tidak layak adanya harapan material dengan pilihan ini, sebagaimana umumnya
setiap ibadah yang tidak boleh diminta upah duniawi daripadanya. Hanya Allah
yang akan membalas seluruh kesungguhan dan kerja keras tersebut. Dan, tentu
saja, kewajiban untuk menerapkan adab menjadi sangat penting, dimana kitab yang
terjemahannya Anda baca sekarang ditulis dalam rangka itu. Sebab dalam pandangan
Islam, tidak ada ilmu yang bisa ditanamkan jika adab-adab telah diabaikan.
Adab, dalam konteks ini, bukan hanya mencakup etika profesional yang sempit,
namun lebih jauh menyangkut disiplin spiritual yang dengannya seseorang
mengenal tempat dan posisi setiap perkara, lalu memilih sikap dan tindakan yang
paling tepat terhadapnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah serangkaian
proses untuk mengenal dan melatih diri dalam disiplin spiritual semacam ini.
Semangat itulah
yang mengalir kuat dalam kitab ini, yang menggemakan nilai-nilai Islam dalam
menempatkan guru berikut peran dan fungsinya di tengah-tengah umat, juga
membimbing para pelajar untuk bersikap semestinya kepada para guru, ilmu, diri mereka
sendiri, teman sesama pelajar maupun buku sebagai salah satu sarana belajar. Kami
mengajak pembaca untuk kembali mengenali hal itu, di tengah-tengah gelombang
materialisme-sekulerisme yang kian tak terbendung. Mungkin, sebagian dari isi
kitab ini terasa asing dan berlebihan bagi para guru dan pembaca modern. Namun,
hal itu bukan karena ia mengada-ada, namun dikarenakan kultur kita sendiri –
sebagai umat Islam – yang sudah terlalu jauh dari warna aslinya. Sebagian saran
maupun alasan yang mendasari suatu penerapan adab kadang juga tidak valid lagi menurut
penilaian mutakhir, sebagaimana akan Anda saksikan nanti. Namun, pesan aslinya
tetap benar, tinggal kejelian kita untuk memahami bentuk penerapannya yang
paling tepat di zaman sekarang.
Dalam
kacamata tradisional, ilmu tentang adab guru dan murid adalah bagian dari
kurikulum utama (core-curriculum) pendidikan. Artinya, adab
adalah pelajaran pertama yang pasti diberikan jauh sebelum seluruh proses
pendidikan itu sendiri berlangsung. Secara sederhana dapat diringkas bahwa arah
utama pendidikan adab adalah mempelajari bagaimana caranya belajar (learning
how to learn). Ada banyak kitab yang dikarang untuk tujuan ini,
seperti Ta'limu al-Muta'allim karya az-Zarnuji, Bidayatu al-Hidayah
karya al-Ghazali, Adabu al-Imla' wal Istimla' karya as-Sam'ani, dan al-Jami'
li Akhlaqi ar-Raawi wa Adabi as-Saami' karya al-Khathib al-Baghdadi. Khusus
untuk kitab terakhir ini isinya banyak dirujuk dalam buku yang kita
terjemahkan.
Pada saat
bersamaan, baik guru maupun murid sepenuhnya sadar bahwa keberhasilan maupun
kegagalan pendidikan sangat tergantung pada tahap ini. Dengan kata lain, banyak
lembaga pendidikan maupun pelajar yang gagal merealisasikan visi-misinya serta
memperoleh manfaat pendidikan dikarenakan gagal melampaui proses pertama ini.
Dalam
kurikulum pendidikan Islam tradisional, dimana muatannya secara umum dibagi
menjadi ilmu fardhu 'ain dan fardhu kifayah, maka mengenal adab adalah
bagian dari ilmu fardhu 'ain yang bersifat dinamis dan berkembang
selaras dengan tuntutan situasi. Tepatnya, karena kita adalah guru dan juga
para murid, maka sudah selayaknya untuk mengetahui bagaimana bimbingan yang
benar dalam menjalani 'profesi' dan status tersebut. Ciri dinamis dari ilmu fardhu
'ain ini senantiasa terkait dengan apa yang disebut al-haal dan al-maqaam,
yakni kondisi riil dan tingkat-tingkat spiritual yang dilalui seseorang
sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah bagian dari perjalanan
pematangan spiritualitas manusia dalam menjalani fungsi dan perannya di muka
bumi.
Isi kitab ini
disajikan dalam gaya yang ringkas dan instruktif, dimana berbagai adab
dipaparkan secara urut dengan uraian yang singkat namun padat. Secara umum, isi
kitab ini dibagi menjadi delapan bagian, yakni:
1. Adab guru kepada ilmunya
2. Adab guru dalam mengajar
3. Adab guru kepada murid-muridnya
4. Adab murid kepada dirinya sendiri
5. Adab murid kepada guru sebagai teladannya
6. Adab murid dalam belajar
7. Adab kepada kitab yang merupakan sarana belajar
8.
Adab-adab
suci bagi Ahli Bait Nabi
Khusus bab
terakhir, tampaknya terkait erat dengan status penulisnya yang adalah seorang sayyid
atau anggota keluarga keturunan Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa aalihi
wasallam.
Akhir kata,
semoga usaha sederhana ini dapat memberi manfaat dan menjadi jalan untuk
hidupnya kembali sunnah Rasulullah di tengah-tengah kita, wa la haula wa la
quwwata illa billah.
Sumbersekar,
Jumadil Akhirah 1428 H
M. Alimin Mukhtar (Penerjemah)
-- bersambung --
Link terkait:
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)
1 - Bagian 1 : Pengantar penerjemah
2 - Bagian 2 : Adab guru kepada ilmunya
3 - Bagian 3 : Adab guru dalam mengajar
4 - Bagian 4 : Adab guru kepada murid-muridnya
5 - Bagian 5 : Adab pribadi seorang murid
6 - Bagian 6 : Adab murid kepada gurunya dan teladannya
7 - Bagian 7 : Adab murid dalam belajar
8 - Bagian 8 : Adab kepada buku sebagai sarana ilmu
9 - Bagian 9 : Penutup (Adab Ahli Bait Nabi)